Istilah hukum berasal dari
Bahasa Arab : HUK'MUN yang artinya menetapkan. Arti hukum dalam bahasa Arab ini
mirip dengan pengertian hukum yang dikembangkan oleh kajian dalam teori hukum,
ilmu hukum dan sebagian studi-studi sosial mengenai hukum. Hukum sendiri menetapkan tingkah laku
mana yang dibolehkan, dilarang atau disuruh untuk dilakukan. Hukum juga dinilai
sebagai norma yang mengkualifikasi peristiwa atau kenyataan tertentu menjadi
peristiwa atau kenyataan yang memiliki akibat hukum.
A.
SUBJEK DAN OBJEK HUKUM DI INDONESIA
1.
Pengertian Subjek dan Objek Hukum
Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang
menjadi pendukung hak dan kewajiban manusia, warna Negara maupun orang asing merupakan
sumber hukum. Sehingga dapat dikatakan manusai adalah subjek hokum, serta Badan
Hukum juga termasuk Subjek hokum.
Objek hukum adalah segala sesuatu yang
berguna bagi subjek hukum dan dapat menjadi pokok suatu hubungan hukum bagi
para subjek hukum. (contoh: benda yang mempunyai nilai ekonomis merupakan objek
hukum)
2.
Sasaran Subjek dan Objek Hukum di Indonesia
A. Subjek Hukum
Pembagian
Subjek Hukum
·
Manusia (Natuurlijk persoan)
Pembawa hak,
yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban disebut subjek hukum. Jadi boleh
dikatakan bahwa tiap manusia baik warga negara maupun orang asing dengan tidak
memandang agama maupun kebudayaannya adalah subjek hukum. Manusia sebagai
pembawa hak (subjek) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan
tindakan hokum. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir
hingga meninggal dunia.
Dalam hal itu Pasal KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak
kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan.
Setiap manusia pribadi (naturlijke person)
sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subjek hukum kecuali dalam
Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan
dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagi berikut:
1. Cakap melakukan perbuatan hukum, adalah orang dewasa menurut hukum
(telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
2. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Bersdasarkan pasal 1330 KUHP
Perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian :
·
Orang-orang yang
belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun)
·
Orang ditaruh
dibawah pengampunan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa pemabuk atau
pemboros.
·
Kurang cerdas
·
sakit ingatan
·
Orang wanita dalam
perkawinan yang berstatus sebagai istri.
·
Badan Hukum (Rechtsperson)
Merupakan badan-badan
perkumpulan yakni orang-orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai
subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia.
Dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat
melakukan sebagai pembawa hak manusia seprti dapat melakukan
persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari
kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan
perantara pengurus-pengurusnya.
Badan Hukum dibedakan
menjadi 2 yaitu :
·
Badan
Hukum Publik (Publik Rechts Person)
Adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik
untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk
oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara
fungsional oleh eksekutif (pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas
untuk itu. seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II.
Bank Indonesia dan Perusahaan Negara..misalnya : eksekutif, dan pemerintahan.
·
Badan
Hukum Privat (Privat Recths Person)
Adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum
sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang didalam badan hukum
itu. Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang
didirikan orang dengan tujuan untuk keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya
perseroan terbatas, koperasi, yayasan, dan badan amal.
A.
Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia
·
Perkembangan
sistem hukum di Indonesia pada masa pendudukan Belanda dan Jepang
Sepanjang
sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa negara antara lain Belanda, Inggris
dan Jepang. Negara-negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk menanamkan
nilai serta sistem hukumnya di wilayah jajahan, sementara masyarakat yang
terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri. Hukum di Indonesia
merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat.
Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada
hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama
di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga
berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Ketika
Indonesia dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC, tidak banyak perubahan
di bidang hukum. Namun ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda, banyak
peraturan perundangan yang diberlakukan di Hindia Belanda baik itu dikodifikasi
(seperti BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi (seperti RV, HIR). Namun
ternyata Belanda masih membiarkan berlakunya hukum adat dan hukum lain bagi
orang asing di Indonesia. Kemudian pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda
memberi kemungkinan bagi golongan non Eropa untuk tunduk pada aturan Hukum
Perdata dan Hukum Dagang golongan Eropa melalui apa yang dinamakan
"penundukan diri". Dengan demikian terdapat pluralisme hukum atau
tidak ada unifikasi hukum saat itu, kecuali hukum pidana yaitu pada tahun 1918
dengan memberlakukan WvS (KUH Pidana) untuk semua golongan. Selain itu badan
peradilan dibentuk tidak untuk semua golongan penduduk. Masing-masing golongan
mempunyai badan peradilan sendiri. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan
sebagai situasi dimana terdapat dua atau lebih sistem hukum yang berada dalam
suatu kehidupan sosial. Pluralisme hukum harus diakui sebagai sebuah realitas
masyarakat. Setiap kelompok masyarakat memiliki sistem hukum sendiri yang
berbeda antar satu dengan yang lain seperti dalam keluarga, tingkatan umur,
komunitas, kelompok politik, yang merupakan kesatuan dari masyarakat yang
homogen. Pluralitas sendiri merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyak pulau,
suku, bahasa, dan budaya, Indonesia ingin membangun bangsa yang stabil dan
modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menghindari pluralisme sama
saja dengan menghindari kenyataan yang berbeda mengenai cara pandang dan
keyakinan yang hidup di masyarkat Indonesia. Kondisi pluralisme hukum yang ada
di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok
masyarakat diterapkan dalam transaksi tertentu atau saat terjadi konflik,
sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu
tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku
padanya. Pengertian pluralisme hukum sendiri senantiasa mengalami perkembangan
dari masa ke masa di mana ada koeksistensi dan interelasi berbagai hukum
seperti hukum adat, negara, agama dan sebagainya. Bahkan dengan dengan adanya
globalisasi, hubungan tersebut menjadi semakin komplek karena terkait pula
dengan perkembangan hukum internasional.
Pada
tahun 1942 Pemerintahan Bala Tentara Jepang menguasai Indonesia. Peraturan
penting yang dikeluarkan pemerintah yaitu beberapa peraturan pidana, kemudian
ada Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942 yang dalam salah satu pasalnya menentukan
badan/lembaga pemerintah serta peraturan yang sudah ada masih dapat berlaku
asalkan tidak bertentangan dengan Pemerintahan Bala Tentara Jepang. Hal ini
penting untuk mencegah kekosongan hukum dalam sistem hukum di Indonesia pada
masa itu
·
Perkembangan
Hukum di Indonesia pada Awal Kemerdekaan, Masa Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi
Setelah
kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hokum nasional yang berdasarkan
atas kepribadian bangsa melalui pembangunan hokum. Secara umum hokum Indonesia
diarahkan pada hokum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum
stabil, masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek
kehidupan dalam bernegara. Untuk mencegah keadaan yang tanpa hukum, maka hukum
lama masih diberlakukan dengan pasal II Aturan peralihan UUD 1945, pasal 192
konstitusi RIS (pada saat berlakunya konstitusi RIS) dan pasal 142 UUDS 1950
(ketika berlakunya UUDS 1950). Pada masa
orde lama Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap
UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi terpimpin yang menyebabkan
kepemimpinan yang bersifat otoriter. Akibatnya hokum yang terbentuk merupakan
sebuah hokum yang konservatif yang merupakan kebalikan dari hokum responsive,
karena memang disini pendapat pemimpinlah yang termuat dalam produk-produk
hukum. Penyimpangan-penyimpangan tersebut adalah:
-
Kekuasaan presiden
dijalankan secarasewenang-wenang.
-
Hal ini terjadi karena
kekuasaan MPR, DPR dan DPA yang pada waktu itu belum dibentuk dilaksanakan oleh
Presiden.
-
MPRS menetapkan
presiden menjadi presiden seumur hidup.
-
Hal ini tidak sesuai
dengan ketentuan-ketentuan mengenai masa jabatan Presiden.
-
Pimpinan MPRS dan DPR
diberi status sebagai menteri
-
Dengan demikian, MPR
dan DPR berada di bawah presiden.
-
Pimpinan MA diberi
status menteri.
-
Ini merupakan suatu
bentuk penyelewengan terhadap prinsip bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
sebuah kekuasaan yang merdeka.
-
Presiden membuat
penetapan yang isinya semestinya diatur dengan undang-undang (yang harus dibuat
bersama DPR); dengan demikian Presiden melampaui kewenangannya.
-
Pembentukan lembaga
Negara yang tidak diatur dalam konstitusi, yaitu Front Nasional.
-
Presidan membubarkan
DPR.
-
Padahal disini menurut
konstitusi presiden tidak bias membubarkan DPR.
A.
Macam-macam Sistem Hukum yang Mempeengaruhi Sistem
Hukum di Indonesia
1.
Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem Hukum Kontinental berkembang di negara-negara
Eropa daratan dan sebagian disebut dengan istilah Civil Law. Semula Sistem
Hukum itu berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada
masa pemerintahan Kaisar Yustinianus. Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan
dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut
Corpus Juris Civilis. Lalu dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan
kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda,
Prancis, Italia, Amerika Latin,
Asia(termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda)
Prinsip utama atau prinsip dasar Sistem Hukum Eropa
Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuatan mengikat karena berupa
peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam
kodifikasi. Sumber hukum utama dalam Sistem Hukum Eropa Kontinental adalah
undang-undang yang dibentuk oleh badan legislatif. Selain itu
peraturan-peraturan yang dipakai sebagai pegangan kekuasaan eksekutif yang
dibuat olehnya berdasarkan kewenangannya dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup
dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan diakui pula sebagai sumber hukum.
·
Karakteristik Sistem Civil Law
Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu
adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang
menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat
inkuisitorial.
Karakteristik utama yang menjadi dasar sistem Hukum
Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam
peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik
di dalam kodifikasi. Karakteristik dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama
yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum hanya dapat
diwujudkan kala u tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur
dengan peraturan-peraturan hukum tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan
berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan
hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan
dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan
seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara
saja ( Doktrins Res Ajudicata ).
Karakteristik kedua pada sistem Civil Law tidak
dapat dilepaskan dari ajaran pemisahan kekusaan yang mengilhami terjadinya
Revolusi Perancis. Menurut Paul Scolten, bahwa maksud sesungguhnya
pengorganisasian organ-organ negara Belanda adalah adanya pemisahan antara
kekuasaan pembuatan undang-undang, kekuasaan peradilan, dan sistem kasasi
adalah tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu mencampuri urusan kekuasaan
lainnya. Penganut sistem Civil Law memberi keleluasaan yang besar bagi hakim
untuk memutus perkara tanpa perlu meneladani putusan-putusan hakim terdahulu.
Yang menjadi pegangan hakim adalah aturan yang dibuat oleh parlemen, yaitu
undang-undang.
Karakteristik ketiga pada sistem hukum Civil Law
adalah apa yang oleh Lawrence Friedman disebut sebagai digunakannya sistem
Inkuisitorial dalam peradilan. Di dalam sistem itu, hakim mempunyai peranan
yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan perkara; hakim aktif dalam
menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan
Friedman, hakim di dalam sistem hukum Civil Law berusaha untuk mendapatkan
gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak awal. Sistem ini mengandalkan
profesionalisme dan kejujuran hakim.
·
Sumber-sumber Hukum menurut Sistem Civil Law
Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam
sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan,
kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi. Dalam rangka menemukan keadilan, para
yuris dan lembaga-lembaga yudisial maupun quasi-judisial merujuk kepada
sumber-sumber tersebut. Dari sumber-sumber itu, yang menjadi rujukan pertama
dalam tradisi sistem hukum Civil Law adalah peraturan perundang-undangan.
Negara-negara penganut civil law menempatkan konstitusi pada urutan tertinggi
dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Semua negara penganut civil law
mempunyai konstitusi tertulis.
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua
karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang
berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan penetapan.
Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain.
Sebagai contoh penetapan, misalnya, pemberian grasi oleh Presiden Republik
Indonesia melalui suatu keputusan presiden ( Keppres ) kepada seorang terpidana
yang putusan pemidanaannya telah memiliki kekuatan yang tetap.
Sumber hukum yang kedua yang dirujuk oleh para yuris
di negara-negara penganut Civil Law dalam memecahkan masalah adalah
kebiasaan-kebiasaan. Pada kenyataannya, undang-undang tidak pernah lengkap.
Kehidupan masyarakat begitu kompleks sehingga undang-undang tidak mungkin dapat
menjangkau semua aspek kehidupan tersebut. Sedangkan dilain pihak, dibutuhkan
aturan-aturan yang dijadikan pedoman manusia dalam bertingkah laku untuk hidup
bermasyarakat. Dalam hal inilah dibutuhkan hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber hukum bukanlah kebiasaan,
melainkan hukum kebiasaan. Kebiasaan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Agar kebiasaan
menjadi hukum kebiasaan diperlukan dua hal, yaitu tindakan itu dilakukan secara
berulang-ulang ( usus ) dan adanya unsur psikologis mengenai pengakuan bahwa
apa yang dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang itu aturan hukum.
Unsur ini mempunyai relevansi yuridis, yaitu tindakan itu bukan sekadar
dilakukan secara berulang-ulang, melainkan tindakan itu harus disebabkan oleh
suatu kewajiban hukum yang menurut pengalaman manusia harus dilakukan. Unsur
psikologis itu dalam bahasa latin disebut Opinio Necessitatis, yang berarti
pendapat mengenai keharusan bahwa orang bertindak sesuai dengan norma yang
berlaku akibat adanya kewajiban hukum.
Sumber hukum yang ketiga yang dirujuk dalam sistem
hukum Civil Law adalah yurisprudensi. Ketika mengemukakan bahwa suatu hukum
kebiasaan berlaku bagi semua anggota masyarakat secara tidak langsung,
melainkan melalui yurisprudensi, Spruit sebenarnya mengakui bahwa yurisprudensi
merupakan sumber hukum dalam arti formal. Akan tetapi posisi yurisprudensi
sebagai sumber hukum di dalam sistem hukum Civil Law belum lama diterima. Hal
itu disebabkan oleh pandangan bahwa aturan-aturan tingkah laku, terutama aturan
perundang-undangan, ditujuka untuk mengatur situasi yang ada dan menghindari
konflik; dengan demikian, aturan-aturan itu dibuat untuk hal-hal setelah
undang-undang itu diundangkan. Undang-undang dalam hal demikian merupakan suatu
pedoman mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
·
Hukum Publik dan Hukum Privat
Hukum publik
atau hukum negara adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan
alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perorangan (warga
negara). Hukum Publik meliputi :
a.
Hukum Tata
Negara adalah hukum yang mengatur bentuk dan susunan pemerintah suatu negara
serta hubungan kekuasaan antara alat-alat perlengkapan satu sama lain, dan
hubungan antara negara (pemerintah pusat) dengan bagian-bagian negara (daerah
swatantra).
b.
Hukum
Administrasi Negara adalah hukum yang mengatur cara-cara menjalankan tugas (hak
& kewajiban) dari kekuasaan alat-alat perlengkapan negara.
c.
Hukum Pidana
adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan
pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara
mengajukan perkara ke muka pengadilan.
Hukum Privat atau yang biasa disebut dengan hukum sipil adalah hukum
yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, dengan
menitik beratkan kepada kepentingan perorangan.
Hukum
Privat Meliputi :
a.
Hukum Sipil (
Hukum Perdata) adalah
b.
Hukum Dagang
Namun dalam perkembangan hukum saat ini batas-batas
antara Hukum Publik dan Hukum Privat semakin kabur. Artinya banyak bidang
kehidupan yang sebenarnya merupakan kepentingan seseorang tetapi ternyata
menunjukkan indikasi sebagai kepentingan umum sehingga memerlukan campur tangan
pemerintah melalui kaidah-kaidah hukum publik.
2.
Sistem Hukum Anglo-Saxon(Anglo-Amerika)
Sistem Hukum Anglo-Saxon (Anglo-Amerika) mula-mula
berkembang di negara Inggris dan dikenal dengan istilah Common Law atau
Unwritten Law ( hukum tidak tertulis). Sistem Hukum ini dianut di negara-negara
anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara, Kanada, Amerika Serikat. Sistem
Hukum Anglo-Saxon bersumber pada putusan-putusan Hakim/Putusan Pengadilan atau
yurisprudensi.
Sumber dari sistem
hukum Anglo-Saxon adalah putusan-putusan hakim/pengadilan atau yurisprudensi.
Melalui keputusan-keputusan hakim prinsip dan kaidah hukum dibentuk dan
mengikat umum. Hakim berperan dalam menciptakan kaidah hukum yang mengatur tata
kehidupan masyarakat (hakim mempunyai wewenang luas/bebas). Namun demikian,
hakim terikat pada asas doctrine of precedent.
Awalnya diterapkan
dan mulai berkembang pada abad 16 di Inggris, kemudian menyebar di negara
jajahannya. Dalam sistem ini tidak ada sumber hukum, sumber hukum hanya
kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan/keputusan pengadilan.
Sering disebut sebagai Common Law,
Ciri dari common law
system ini adalah :
·
Tidak ada perbedaan
secara tajam antara hukum publik dan perdata
·
Tidak ada perbedaan antara hak kebendaan dan perorangan
·
Tidak ada kodifkasi
·
Keputusan hakim terdahulu mengikat hakim yang kemudian (asas precedent
atau stare decisis)
Sumber
Hukum
1) Putusan–putusan hakim / putusan pengadilan atau yurisprudensi (judicial decisions). Putusan-putusan
hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan-putusan hakim itu
prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.
2) Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang berupa
undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui juga, kerena pada
dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari
putusan pengadilan.
Putusan pengadilan,
kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara
sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa Kontinental.
Peran Hakim
§ Hakim berfungsi
tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan
hukum saja. Hakim juga berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum
yang mengatur tata kehidupan masyarakat.
§ Hakim mempunyai
wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan
prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim –hakim lain
dalam memutuskan perkara sejenis.
§ Oleh karena itu,
hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada
dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
§ Namun, bila dalam
putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim
berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan
menggunakan metode penafsiran hukum. Sistem hukum Anglo-Amerika sering
disebut juga dengan istilah Case Law.
good article
BalasHapushukum di Indonesia harus ditegakkan
sayang tidak ada sumber rujukannya.....cayooo
BalasHapus